“udah lama?”
ucap wanita di depanku sambil membetulkan kursinya. Aku menjawab dengan
gelengan kepala dan senyuman kecil. Sambil melirik gelas kosong di meja dia
berkata lagi “Aku telat ya? Janjiannya jam dua kan?”
“Enggak kok, iya
janjiannya memang jam dua, tapi dari siang aku udah di sini, ada keperluan
lain” jawabku sekenanya. Lalu wanita ini
pun menjawab lagi “ooh gitu, kirain aku yang telat. Jogja sekarang kok sering
banget hujan ya?” dia berbicara sambil menatap ke luar melalui jendela. “iya”
jawabku singkat. Setelah jawaban itu sempat hening beberapa saat. Ini baru awal tapi kami seolah-olah sudah
habis bahan pebicaraan.
“This is awkward right?... kita berdua
duduk bareng lagi… jadi grogi nih” kataku
memulai ke inti pembicaraan. “Aku agak
susah nih mau basa-basi, langsung to the
point aja boleh ya?” aku bertanya lagi. Dia menganggukkan kepalanya tanpa
keluar kata-kata, cukup anggukan darinya bagiku merupakan tanda dia tidak
keberatan untuk memulai pembicaraan secepatnya. “Kayak yang tak omongin di telpon kemaren, yang mau
tak omongin kali ini lebih cenderung ‘
about me’ than ‘about us’ hehe egois banget yak? Tapi mau ke siapa lagi
harus ngomong aku juga bingung.” Keadaan hening. Aku mengumpulkan keberanian dan
pikiran tentang apa yang mau tak omongin kali ini. Tidak banyak reaksi darinya,
cuma sempat beberapa detik kentara sekali
rasa canggung yang terpapar di wajahnya.
“Jadi…
semenjak…kita . . . ambil jalan masing-masing…” entah kenapa kata-kata yang
terucap justru aku memilih kata “ambil jalan masing-masing” daripada memakai
kata “putus”.
“… Aku merasanya kamu menghindari aku, begitu
juga aku menghindari kamu…” ku selesaikan kalimat pertamaku. Nggak ada reaksi
dari wanita di depanku. “it’s such a
shame kalo inget kita pernah . . . care
each other.” lagi-lagi yang muncul justru kata “care each other” padahal bisa aja pake kata “kalo inget kita pernah
saling sayang”. Lalu ku lanjutkan dengan argumentasi defensifku soal komentarku di Facebooknya yang nggak pernah dia
respon, soal sms ulang tahun dan lebaran yang nggak pernah direspon, serta soal
nomer handphonenya yang sudah dua
kali ganti tapi nggak ada pemberitahuan nomer barunya, kalau mau alasan nomerku
di handphonenya juga hilang jelas
nggak bisa karena kembaran dan adiknya denganku jelas-jelas kadang masih smsan.
Beberapa kali wanita di depanku ini membuka mulutnya siap menjawab tetapi tidak
jadi, mungkin dia geregetan juga kalau kata-kataku malah memojokkannya.
Supaya imbang
akupun melakukan “pengakuan dosa”. “Ya, memang waktu ketemu reuni akhir tahun
kemarin awalnya aku merasa sudah siap ketemu dan ngobrol sama kamu, toh sudah
hampir tiga tahun juga, tapi nyatanya sepertinya saya belum siap. Pas pengen
buat ngobrol malah nggak jadi dengan pikiran ‘ah ntar aja agak sorean’ malah
ternyata seharian kamu bareng si Ayu, kan kalo mau ngajak ngobrol nggak enak
sama Ayu dkk, terus jam dua udah pergi pula.”
“Kenapa belum
siap?” akhirnya dia buka suara. “Apa kamu masih…” pertanyaannya dibiarkan
menggantung.
“Nggak ngerti
juga. I feel something not right between
us. I mean, we ever care each other tapi sekarang? Macem orang asing atau
macem kucing-kucingan aja. Kayak lagunya Gotye: i just some body that you used to know. Padahal apapun yang terjadi, mau jungkir-balik,
split, salto, atau koprol sekalipun nggak akan merubah yang udah terjadi
diantara kita. Aku nggak ngerti apa yang ada di pikiranmu. Mungkin aku bukan
siapa-siapa lagi buatmu, tapi sampai kapanpun buatku kamu tetep orang penting. You’re who person bring new meaning in my life…” Jeger! Kesambet apaan nih
aku ngomong begini.
“Trough the time, many things change, aku tambah tambun, tambah tinggi, minusku
nambah, pola pikir pun InsyaALLAH
udah berubah lebih baik. Kamu? Makin kelihatan dewasa, sekarang dah kemana-mana
sendiri, plus entah udah berapa cowok yang deketin kamu.” Kalimat terakhir
membuat bibirnya tersenyum sedikit. “…tapi aku tetaplah Radit yang dulu; Radit
yang bisa panas dingin padahal cuma baru nyoba megang tanganmu, Radit yang
separuh mukanya kamu olesin krim dari kue tart, Radit yang ngirim kode morse
lewat testimonial di friendster, Radit yang lebih banyak
kamu temui lewat sms daripada di dunia nyata, Radit yang dulu, yang sempat
mengajakmu menyusun mimpi-mimpi bersama.”
Bukan ini yang
mau tak omongin tapi ingatan tentang masa-masa itu tiba-tiba aja muncul macam
iklan di internet yang sekali di-close akan
tetep muncul lagi. Ku tegakkan posisi dudukku sambil menghela nafas. “Aku lulus
dari Oktober dua tahun lalu. Desember sempat balik ke Bandung dua minggu karena
ada yang diurus di kampus. Mulai magang bulan Maret. Aku magang di salah satu
kantor Arsitek di Ring Road Utara sana. Jadi practically aku punya banyak waktu kalau cuma sekedar ketemu kamu,
tapi ya itu tadi, mungkin memang aku belum siap mental.” Aku memberi jeda
sedikit tapi tidak berharap wanita di depanku ini memberi tanggapan.
“Akhirnya aku
sampai di satu titik di mana aku udah jenuh kayak gini terus. Karena I feel something not right between us jadi
aku pengin bisa memperbaiki itu. Aku kepikiran why not I just pick my phone and call you? Tapi tetep nggak
terlaksana. Kemaren waktu minta ketemuan itu juga karena udah kepalang tanggung
udah sms kamu, dan nyatanya baru bisa sekarang kan.”
“Iya waktu kamu
sms itu kan kamu tau sendiri aku baru sibuk ngurus skripsi.”
“Haha iya kok,
aku ngerti, it’s OK” jawabku spontan.
“Terus?”
“Hah? Terus?”
Aku belum paham apa maksud pertanyaannya. “Ooh iya.. ya aku penginnya kita
bener-bener bisa jadi temen, biarpun
aku ngerti it’s easy friends turn into
lover, but very hard from lover turn into friend“. Nggak muluk-muluk deh, at least nggak kayak orang asing gini,
Aku berharap masih bisa godain status galaumu, bisa ajakin jalan atau main ke
rumahmu sewaktu-waktu, atau bisa curhat waktu butuh temen ngobrol.”
“Lame!” sambar laki-laki yang sedari awal
duduk semeja dengan kami. Sepertinya sudah habis kesabarannya mendengar dialog
antara diriku dan pacarnya.
==========to be continued=========
20.04.2013
"cerita ini hanyalah fiktif belaka, jika ada kesamaan tempat, nama dan juga cerita adalah hanya kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan"
"cerita ini hanyalah fiktif belaka, jika ada kesamaan tempat, nama dan juga cerita adalah hanya kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan"
0 komentar:
Posting Komentar