Minggu, 08 September 2013

[cerpen] Pamit (1)

“udah lama?” ucap wanita di depanku sambil membetulkan kursinya. Aku menjawab dengan gelengan kepala dan senyuman kecil. Sambil melirik gelas kosong di meja dia berkata lagi “Aku telat ya? Janjiannya jam dua kan?”
“Enggak kok, iya janjiannya memang jam dua, tapi dari siang aku udah di sini, ada keperluan lain” jawabku sekenanya.  Lalu wanita ini pun menjawab lagi “ooh gitu, kirain aku yang telat. Jogja sekarang kok sering banget hujan ya?” dia berbicara sambil menatap ke luar melalui jendela. “iya” jawabku singkat. Setelah jawaban itu sempat hening beberapa saat.  Ini baru awal tapi kami seolah-olah sudah habis bahan pebicaraan.
This is awkward right?... kita berdua duduk bareng lagi… jadi grogi nihkataku memulai ke inti pembicaraan.  “Aku agak susah nih mau basa-basi, langsung to the point aja boleh ya?” aku bertanya lagi. Dia menganggukkan kepalanya tanpa keluar kata-kata, cukup anggukan darinya bagiku merupakan tanda dia tidak keberatan untuk memulai pembicaraan secepatnya. “Kayak  yang tak omongin di telpon kemaren, yang mau tak omongin kali ini lebih cenderung ‘ about me’ than ‘about us’ hehe egois banget yak? Tapi mau ke siapa lagi harus ngomong aku juga bingung.” Keadaan hening. Aku mengumpulkan keberanian dan pikiran tentang apa yang mau tak omongin kali ini. Tidak banyak reaksi darinya, cuma sempat beberapa detik kentara sekali  rasa canggung yang terpapar di wajahnya.
“Jadi… semenjak…kita . . . ambil jalan masing-masing…” entah kenapa kata-kata yang terucap justru aku memilih kata “ambil jalan masing-masing” daripada memakai kata “putus”.
 “… Aku merasanya kamu menghindari aku, begitu juga aku menghindari kamu…” ku selesaikan kalimat pertamaku. Nggak ada reaksi dari wanita di depanku. “it’s such a shame kalo inget kita pernah . . . care each other.” lagi-lagi yang muncul justru kata “care each other” padahal bisa aja pake kata “kalo inget kita pernah saling sayang.  Lalu ku lanjutkan dengan argumentasi defensifku soal komentarku di Facebooknya yang nggak pernah dia respon, soal sms ulang tahun dan lebaran yang nggak pernah direspon, serta soal nomer handphonenya yang sudah dua kali ganti tapi nggak ada pemberitahuan nomer barunya, kalau mau alasan nomerku di handphonenya juga hilang jelas nggak bisa karena kembaran dan adiknya denganku jelas-jelas kadang masih smsan. Beberapa kali wanita di depanku ini membuka mulutnya siap menjawab tetapi tidak jadi, mungkin dia geregetan juga kalau kata-kataku malah memojokkannya.
Supaya imbang akupun melakukan “pengakuan dosa”. “Ya, memang waktu ketemu reuni akhir tahun kemarin awalnya aku merasa sudah siap ketemu dan ngobrol sama kamu, toh sudah hampir tiga tahun juga, tapi nyatanya sepertinya saya belum siap. Pas pengen buat ngobrol malah nggak jadi dengan pikiran ‘ah ntar aja agak sorean’ malah ternyata seharian kamu bareng si Ayu, kan kalo mau ngajak ngobrol nggak enak sama Ayu dkk, terus jam dua udah pergi pula.”
“Kenapa belum siap?” akhirnya dia buka suara. “Apa kamu masih…” pertanyaannya dibiarkan menggantung.
“Nggak ngerti juga. I feel something not right between us. I mean, we ever care each other tapi sekarang? Macem orang asing atau macem kucing-kucingan aja. Kayak lagunya Gotye: i just some body that you used to know. Padahal apapun yang terjadi, mau jungkir-balik, split, salto, atau koprol sekalipun nggak akan merubah yang udah terjadi diantara kita. Aku nggak ngerti apa yang ada di pikiranmu. Mungkin aku bukan siapa-siapa lagi buatmu, tapi sampai kapanpun buatku kamu tetep orang penting. You’re who person bring new meaning in my life…” Jeger! Kesambet apaan nih aku ngomong begini.
Trough the time, many things change, aku tambah tambun, tambah tinggi, minusku nambah, pola pikir pun InsyaALLAH udah berubah lebih baik. Kamu? Makin kelihatan dewasa, sekarang dah kemana-mana sendiri, plus entah udah berapa cowok yang deketin kamu.” Kalimat terakhir membuat bibirnya tersenyum sedikit. “…tapi aku tetaplah Radit yang dulu; Radit yang bisa panas dingin padahal cuma baru nyoba megang tanganmu, Radit yang separuh mukanya kamu olesin krim dari kue tart, Radit yang ngirim kode morse lewat testimonial di friendster, Radit yang lebih banyak kamu temui lewat sms daripada di dunia nyata, Radit yang dulu, yang sempat mengajakmu menyusun mimpi-mimpi bersama.”
Bukan ini yang mau tak omongin tapi ingatan tentang masa-masa itu tiba-tiba aja muncul macam iklan di internet yang sekali di-close akan tetep muncul lagi. Ku tegakkan posisi dudukku sambil menghela nafas. “Aku lulus dari Oktober dua tahun lalu. Desember sempat balik ke Bandung dua minggu karena ada yang diurus di kampus. Mulai magang bulan Maret. Aku magang di salah satu kantor Arsitek di Ring Road Utara sana. Jadi practically aku punya banyak waktu kalau cuma sekedar ketemu kamu, tapi ya itu tadi, mungkin memang aku belum siap mental.” Aku memberi jeda sedikit tapi tidak berharap wanita di depanku ini memberi tanggapan.
“Akhirnya aku sampai di satu titik di mana aku udah jenuh kayak gini terus. Karena I feel something not right between us jadi aku pengin bisa memperbaiki itu. Aku kepikiran why not I just pick my phone and call you? Tapi tetep nggak terlaksana. Kemaren waktu minta ketemuan itu juga karena udah kepalang tanggung udah sms kamu, dan nyatanya baru bisa sekarang kan.”
“Iya waktu kamu sms itu kan kamu tau sendiri aku baru sibuk ngurus skripsi.”
“Haha iya kok, aku ngerti, it’s OK” jawabku spontan.
“Terus?”
“Hah? Terus?” Aku belum paham apa maksud pertanyaannya. “Ooh iya.. ya aku penginnya kita bener-bener bisa jadi temen, biarpun aku ngerti it’s easy friends turn into lover, but very hard from lover turn into friend“. Nggak muluk-muluk deh, at least nggak kayak orang asing gini, Aku berharap masih bisa godain status galaumu, bisa ajakin jalan atau main ke rumahmu sewaktu-waktu, atau bisa curhat waktu butuh temen ngobrol.”
Lame!” sambar laki-laki yang sedari awal duduk semeja dengan kami. Sepertinya sudah habis kesabarannya mendengar dialog antara diriku dan pacarnya.


==========to be continued=========

20.04.2013

"cerita ini hanyalah fiktif belaka, jika ada kesamaan tempat, nama dan juga cerita adalah hanya kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan"

0 komentar:

Posting Komentar